Ban Bocor |
Dalam perjalanan di suatu pagi
yang cerah dengan jalanan kota yang belum terlalu ramai, ban roda kendaraan
saya tiba-tiba terasa berat. Benar saja, ketika menepi dan cek visual ban
tersebut kempes. Sobek di bagian sisi dalam.
Saya pun segera meletakkan
segitiga pengaman sekitar 8 meter di belakang buritan, mengambil peralatan,
dongkrak dan ban cadangan. Entah apa rencana Tuhan pagi itu.
Dongkrak sudah terpasang sempurna
ban cadangan juga telah siap sedia berbaring di bawah kolong (meletakkan ban di
kolong sekaligus menjadi pengaman jika dongkrak error), baut-baut juga sudah
terlepas dengan baik. Namun roda berbalut ban bocor itu tak bisa dilepas.
Benar-benar tidak bisa dilepas dengan kekuatan sendiri, “nyokot” kalau orang
Jawa bilang.
Saya luncurkan “mae geri” tepat
di tiap-tiap sisi roda, berharap roda tersebut oleng dan terlepas dari tempat
duduknya. Benar-benar mengigit, mungkin akibat saya telat menyadari saat ban
sudah bocor di perjalanan tadi.
Lalu tibalah keindahan sosial
masyarakat kita, Indonesia. Seorang lelaki paruh baya mendatangi saya, bertanya
sekedarnya lalu tanpa diminta ia serta merta membantu, mengambil alih pegangan
saya dari roda. Melakukan hal yang sama: menendang sisi roda sembari menarik
keluar roda itu dari tempat duduknya. Dalam hati saya bergumam,
“Tenaga saya tentu lebih kuat
dari Bapak, namun semoga tehnik Bapak lebih baik”.
Lima menit melakukan aksinya, Si
Bapak menyerah. Kekuatan dan tehniknya tidak mempan melawan gigitan besi bundar
itu. Ia akhirnya lebih banyak memberi nasehat mengenai persiapan perjalanan dan
tips agar ban roda lebih awet terjaga. Belum usai kami berbinang tetiba datang
lagi seorang pemuda sekira usia 35 tahun dengan perawakan gempal dan bugar. Hal
yang sama ia lakukan pada roda ban yang lagi sekarat itu. Namun nihil. Pemuda
itu bergegas pergi tanpa pamit, saya agak merasa aneh. Bapak itu juga turut
mundur teratur pamit dan berpesan,
“Teruslah menendang, siapa tau
nanti lepas..”
Saya sedikit merasa sedih.
Jikalau dengan bantuan mereka saja tidak bisa bagaimana mungkin saya sendirian
bisa? Namun ada hal yang membuat saya lebih banyak merasa bahagia yaitu bahwa
jiwa gotong royong, tenggang rasa, tolong menolong, tidaklah sepenuhnya luntur
dari bumi pertiwi. Oke, saya kembali harus menghadapi gigitan besi itu sendiri.
Saya akhirnya kembali menyadarkan
diri bahwa saya tidak pernah sendiri. Doa dalam tarikan nafas panjang saya
panjatkan kepada Tuhan YME sebelum
meluncurkan 10 hingga 15 “mae geri” terkuat yang saya bisa. Namun masih nihil.
Hingga tiba-tiba, sekali lagi, pemuda berbadan gempal bugar itu datang seperti
Jaelangkung, mengagetkan tiba-tiba “njedhul” di dari belakang saya.
“Pakai ini Mas!”
Sang Pemuda menyodorkan 1 buah
dongkrak hidrolik. Lalu dengan inisiatifnya meletakkan dongkrak tersebut secara
horizontal antara bagian dalam sisi roda dengan bagian keras pada bagian dalam
fender. Saya sempat ragu pada kendaraan tua itu, jangan-jangan bagian dalam
fendernya sudah rapuh dimakan usia. Bismillah..
“Susah sekali Mas, dongkrak saja
tidak mempan!” ujar pemuda itu.
“Oke coba saya bantu mas,
posisinya di balik dan gunakan obeng untuk memutar pengungkitnya”
“Obeng saya di sana, jauh”
“Ini saya ada obeng, gunakan
obeng saya” jawab saya sigap.
Akhirnya, setelah beberapa kali
percobaan yang ulet roda sekarat tersebut lepas juga dari tempat duduknya.
BINGO!! Buru-buru saya mendekatkan ban cadangan yang siap sedari tadi ke bibir
fender, disambut pemuda itu yang sigap memasangnya sekaligus menguncinya dengan
baut roda hingga kuat. Roda cadangan terpasang sempurna. Saya sudah bisa melanjutkan
perjalanan.
Saya mengucapkan terimakasih
kepada pemuda tersebut namun ia hanya melambaikan tangan dan buru-buru kembali
ke arah gedung berwarna putih yang setahu saya adalah toko komputer. Saya belum
sempat menanyakan namanya! Saya niatkan suatu saat akan parkir di area itu lagi
siapa tau dapat bertemu.
Setelah merapihkan peralatan dan mengelap
tangan dengan “kanebo” lembab yang selalu saya bawa di bagasi, kendaraan saya
bawa laju pelan-pelan. Namun baru 200 meter dari lokasi bocor tadi, terjadi
lagi: ban roda kendaraan saya tiba-tiba terasa berat. Ketika menepi dan cek
visual saya dapati ban cadangan yang sudah terpasang tadi sudah dalam keadaan
kempes. Kali ini sepertinya bocor atau terkena benda tajam.
“Ya Allah..” intonasi saya
mengandung kekecewaan sekaligus protes kepada-Nya.
Sebagai orang yang meyakini bahwa
setitik debu terbang di angkasa adalah atas kuasa-Nya, maka saya melihat
kejadian pagi itu bukanlah kebetulan. Jadi 10 menit pertama saya tidak
melakukan langkah apa-apa selain duduk menenangkan diri di bawah pohon di tepi
jalan. Merenungi situasi.
Situasi “pensive” itu berlaku
bagi hati untuk meresapi makna kejadian dan berlaku bagi otak untuk melakukan
analisis langkah strategis paling strategis yang bisa dilakukan sebagai solusi.
Dari mulai menelpon teman, tukang ban, cari ojek, panggil taxi hingga sekedar
duduk termenung. Saya memilih duduk termenung. Menatap jalanan yang beranjak
ramai.
Setelah lebih merasa teduh dan
dapat berdamai dengan situasi, saya putuskan mengganti ban yang sobek tadi
dengan ban baru. Akan saya bawa dengan taxi ke toko ban terdekat dan kembali ke
lokasi dengan kepastian bahwa setelah saya pasang nanti tidak akan bocor lagi.
Jempol saya acungkan setiapada
taxi yang lewat. Lima hingga 8 unit taxi yang lewat tidak ada satupun yang
menepi menyambut panggilan jempol saya. Saya coba berdiri saja bersandar pada
tiang listrik yang mulai karatan. Menunduk, melihat telepon genggam saya sudah
kehabisan baterai. Dari arah berlawanan menuju toko ban, sebuah taxi memutar
balik saya pikir ada penumpang yang hendak turun namun ternyata tidak. Seorang
sopir taxi berusia 50-an membuka jendela kiri mobilnya yang mendekati saya.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?”
ujar sopir taxi itu dengan tersenyum.
“Oh, iya Pak. Bisa mengantar saya
ke toko ban terdekat?”
“Monggo, saya antarkan”
Demikianlah saya dan sopir taxi
yang ramah itu sudah dalam perjalanan menuju toko ban terdekat. Kami berbincang
dalam bahasa jawa halus, sesekali saya gunakan bahasa Indonesia karena
ketidakpahaman saya akan kosakata yang tepat. Berbicara dari hal ringan sampai
tidak terlalu ringan, tertawa dan cengegesan bersama. Hehe
“Bapak berkenan menunggu, untuk
nanti kembali mengantar saya ke lokasi tadi?”, tanya saya ketika taxi sudah sampai
tujuan.
“Oh iya, monggo silahkan saya
tunggu”
Saya turun dari taxi menuju toko
ban tersebut. Disambut oleh dua wanita usia 30-an yang sedang mengepel lantai.
Melihat tamu datang mereka tersenyum ramah.
“Sudah buka Mbak?”
“Oh sudah Mas, silahkan”
“Saya mau beli ban Mbak untuk
mengganti ban yang rusak di roda saya” ujar saya sembari menunjuk ke taxi.
Ternyata sopir taxi tadi sudah
berinisiatif mengeluarkan roda sekarat dari bagasi taxi dan menggulungnya ke
dekat tumpukan ban dagangan.
“Baik kita cek dulu ban-nya Mas”
jawab salah seorang wanita yang lebih cerah senyumnya itu.
Tidak sampai lima menit menunggu
wanita itu kembali dan menyodorkan katalog.
“Mohon maaf Mas, spesifikasi ban
seperti ini kami tidak punya. Sulit mencari spesifikasi yang sama dengan merk
ban ini. Kami memiliki spesifikasi yang sama tapi dengan merk berbeda. Harganya
tidak terpaut jauh”
“Baiklah, saya beli satu”
Sekitar 15 menit kemudian ban
baru itu sudah menempel di velg M3 GTS hitam, menggantikan ban lama yang tampak
usang di bagian dalamnya namun masih terlihat tebal dan bergaris kuat di
luarnya. Sopir taxi yang dari tadi menunggu saya berinisiatif membawakan roda
baru itu ke bagasi taxi.
Saya sendiri lalu menuju meja
kasir dan bertanya, berapa biayanya. Rpanya biaya adalah Rp 1.600.000, dan saat
saya melihat isi tas saya hanya ada uang Rp 1.200.000; Dompet saya tertinggal
di mobil, yang saya parkir di pinggir jalan tadi!!
“Maaf Mbak, bagaimana jika saya
tinggalkan KTP atau Handphone atau barang berharga lainnya di sini sebagai
jaminan bahwa saya akan kembali lagi kesini untuk melunasi tagihan?”
“Hm, saya rasa tidak perlu Mas.
Dibawa saja, kami percaya nanti pasti kembali lagi kesini”
“Serius?”
“Ya kami serius”
Bergegas saya menuju taxi memberi
kode kepada sopir taxi untuk segera meluncur ke tempat dimana saya memarkir
mobil saya. Sesampainya di lokasi, saya lihat argometer menunjukan charge
sebesar Rp 55.000; sementara uang di tas dan disaku saya sudah bersih ludes di
toko ban tadi. Saya berharap semoga ada cash di dompet, atau bila perlu nanti
mampir dulu ke gerai ATM.
“Pak sebentar saya ambil uang untuk
bayar taxi”
“Baik Mas”
Wow!! Ternyata uang di dompet
saya hanya ada Rp 42.000; sudah dengan koin-koin receh yang ada di dashboard.
Say asegera menghampiri sopir taxi.
“Pak uang saya kurang, apakah
Bapak bersedia menunggu nanti saya ke gerai ATM dahulu untuk mengambil uang.
Atau saya minta nomor HP Bapak untuk saya isi pulsa sebagai pengganti
kekurangan tagihan taxi?”
“Tidak usah Mas, serius. Silahkan
ditinggalkan saja tagihannya.” Sopir taxi itu tersenyum sangat ramah.
“Serius?”
“Saestu, mboten nopo-nopo! (serius, tidak apa-apa –bahasa jawa)”
Akhirnya saya hanya bisa
tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada sopir taxi itu. Lalu kembali
berkutat dengan mobil dan ban baru yang siap dipasang. Setelah mengerahkan
sedikit waktu dan tenaga, ban baru sudah terpasang dan saya pun bergegas
melanjutkan perjalanan. Pertama-tama menuju toko ban untuk membayar tagihan.
Lalu buru-buru menuju ke kantor, karena sudah sangat terlambat dari jadwal
masuk kantor.
Sepanjang perjalanan saya merasa
seperti mendapat cubitan sekaligus usapan lembut di pipi. Di satu sisi mendapat
cobaan ban bocor di tengah jalan namun di saat yang sama mendapat pertolongan
dan kemurahan hati dari sopir taxi dan kasir di toko ban.
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.