![]() |
Perang Melawan Islam? |
Memerangi Islam? Kenapa? Bukankah sudah banyak kejadian di Timur Tengah yang bisa membuka mata kita bahwa konflik agama dan peperangn tergadap Islam tidak lain hanyalah permaianan para penjahat kemanusiaan yang menumpang sentimen agama sebagai kendaraan memperebutkan sumber daya?
Saya
sungguh sedih melihat pertumpahan darah terjadi karena sentimen agama. Mencoba
untuk memahami konflik di Burma misalnya, otak dan hati saya tidak habis pikir
bagaimana mungkin manusia (bahkan anak-anak) dimusnahkan karena
sentimen agama.
Saya rasa memang benar bahwa ada bisnis ketakutan dan kebencian
yang diinvestasikan pihak-pihak tertentu ke dalam tatanan interaksi umat
beragama di dunia. Agar agama tampak seperti penyakit!!
Menyoroti konflik di Burma, kampanye seorang biksu untuk memboikot usaha dan bisnis umat
muslim di Burma tercatat sejarah sebagai apa yang disebut benih-benih apartheid. Lebih jauh tentangnya, sangat jelas bahwa ada kekhawatiran terhadap 30% penduduk muslim di Burma yang mengalami pertumbuhan pesat secara jumlah maupun dominasi di sektor
ekonomi. Paranoia? saya masih perlu waktu untuk mencernanya. Tapi yang sudah jelas-jelas saya lihat adalah kembali munculnya fenomena ketakutan dan kebencian terhadap Islam. Lagi-lagi, Islam dimusuhi karena dianggap mengancam.
Saya dilahirkan & dibesarkan di negara dengan penduduk Islam
terbesar, Indonesia, merasa perlu turut bersuara. Karena manusia cenderung
membenci bahkan takut pada apa yang tidak ia ketahui maka perkenankan saya
ceritakan kembali sejarah yang bisa menunjukkan wajah Islam kepada
Anda. Wajah yang tercermin dari penguasa negeri Islam yang setia menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam, kaidah yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan toleransi.
Pasca Kegemilangan Islam
Sejarah mencatat bahwa Peradaban Islam pernah mencapai masa kegemilangan hingga melahirkan cendekiawan-cendekiawan dengan capaian luar biasa. Namun ada pula masa senja di saat kekuatan Islam dirongrong dan akhirnya perlahan mundur. Termasuk pelepasan pengaruh di tanah Eropa.
Adalah penyerahan
kunci Istana Al-Hamra oleh Sultan Muhammad As-Shaghir kepada Raja Ferdinand dan
Isabella pada 2 January 1492 M yang menandai berakhirnya
kekuasaan Islam di Spanyol. Itu artinya, secara politik islam sama sekali tidak
memiliki hak terhadap Spanyol. Namun
berakhirnya kekuasaan islam di Spanyol tidak serta merta mengakhiri kisah kaum
muslimin di negeri itu. Sejarah terus mencatat, penyerahan kekuasaan justru menjadi awal sejarah
kelam kaum muslimin disana.
Piagam Granada yang menjanjikan kebebasan beragama
bagi kaum muslimin rupanya tidak berumur panjang. Pada tahun 1502 umat islam
diberi dua opsi, mameluk Kristen atau pergi meninggalkan bumi Spanyol. Artinya,
menetap di Spanyol dengan tetap memeluk agama islam sama artinya dengan bunuh
diri. Banyak kaum muslimin yang memilih meninggalkan Spanyol, namun tidak
sedikit yang memilih pindah agama secara dzohir, namun tetap menjalankan ajaran
islam dengan sembunyi-sembunyi. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai
kaum Moriscos.
Rupanya
pemerintah Spanyol menyadari adanya ketidak tulusan kaum Moriscos terhadap iman
Kristen, akibatnya mereka mengalami penyiksaan dan inkuisisi (baca:
pembantaian) yang hebat. Keberadaan mereka juga dianggap sebagai ancaman
internal yang berbahaya. Sehingga antara tahun 1508-1567 keluar sejumlah
peraturan yang melarang segala hal yang bernuasa islam, baik pakaian maupun
nama. Penggunaan bahasa arab juga dirarang. Anak-anak kaum muslimin dipaksa
untuk menerima pendidikan dari para pendeta Kristen. Puncaknya pada tahun
1609-1614 sebanyak 300.000 Moriscos diusir dari Spanyol oleh Raja Philip III.
Benar-benar kenyataan sejarah yang pahit dan menyedihkan.
Raja Yang Teguh Pada Islam Sesungguhnya
Dari
Spanyol mari kita pindah ke belahan bumi yang lain, tepatnya di Turki tempat
dimana kekhalifaan Ottoman berpusat. Sebuah pemerintahan yang masih memiliki sinar gemilang dan
memiliki kedaulatan yang kuat.
Setelah
mendengar penyiksaan yang dilakukan penguasa Spanyol terhadap kaum muslimin,
Sultan Salim I marah besar, dia mengeluarkan dekrit yang berisi perintah kepada
seluruh penganut Yahudi dan Nasrani yang tinggal didaerah kekuasaannya untuk
memilih satu dari dua opsi, tinggal menetap dengan catatan memeluk agama Islam,
atau pergi meninggalkan Tanah kekhalifaan. Mendengar dekrit tersebut, Syaikh
Ali Afandi At- Tirnabily selaku Mufti Ottoman saat itu menyampaikan
penolakannya terhadap dekrit sang Sultan. Mufti menjelaskan bahwa dekrit
tersebut tidak boleh dilaksanan sekalipun kaum muslimin disembelih di
negeri-negeri Salib. Mufti juga menjelaskan bahwa selamanya tidak ada paksaan
dalam beragama.
Akhirnya
Sultan Salim menarik keputusannya dan membiarkan penganut Yahudi dan Nashrani
tinggal dengan aman dan damai dibawah pemerintahannya. Iya, mereka semua
dibiarkan tinggal dengan aman dan damai disaat pemerintah Spanyol menyembelih
ratusan ribu kaum muslimin di negaranya.
Sikap
Sultan Salim yang tunduk pada rambu-rambu keislaman sudah cukup sebagai jawaban
bahwa islam bukan agama teroris, namun sebagai rahmatan lil alamin. Dimanapun
Islam berkuasa, dia akan menjadi pengayom bagi semua. Andai Islam intoleran
seperti yang dituduhkan, tentu tidak akan ada satu Yahudi atau satu Kristenpun
yang tersisa di tanah Andalus, Turky, Mesir, Lebanon, Jordan dan sejumlah
negara lainnya saat islam berkuasa disana.
Karena
sesungguhnya tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Dan hal itu tertulis
jelas dalam kitab suci kaum muslim, Al-Quran.
Namun
mari kita lihat, bagaimana situasi di Burma. Terlepas dari isu dan kampanye yang
didengungkan oleh para aktivis garis keras Buddha di sana, apakah dibenarkan
kekhawatiran dak ketakutan menjadi dasar perampasan hak asasi manusia? Bahkan
hingga hak paling dasarnya, yaitu hidup?
Ada negara dimana dominasi umat beragama tertentu tidak diskriminatif terhadap minoritas, namun ada pula yang sebaliknya. Biarlah
sejarah berbicara. Semoga seluruh umat beragama saling intorpeksi diri.
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.