Wednesday 27 May 2015



Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Berbeda.
Dengan penduduk 250 juta jiwa dan bonus demografi yang potensial , Indonesia menjadi incaran para produsen rokok. Tingginya kesadaran bahaya rokok di negara maju memacu produsennya mengalihkan produksi rokok ke luar negeri, negara berkembang seperti Indonesia. Sementara di sini, rokok masih hal yang lumrah dan jamak dikonsumsi.

Yang terjadi di Indonesia adalah  anak-anak dan generasi muda dijadikan target utama. Kunci kelanggengan bisnis rokok. Mereka dapat diubah menjadi perokok pemula, menggantikan perokok lama yang berhenti merokok atau meninggal karena penyakit akibat rokok. Dan mereka akan menjadi perokok loyal di masa depan.

Menilik data Kemenkes, tahun 2007-2010 terjadi peningkatan umur mulai merokok pada usia yang lebih muda. Tahun 2007, umur pertama kali merokok usia 5-9th 1,2%, usia 10- 14th 10,3%, usia 15-19th 33,1%, usia 20-24th 12,1%, usia 25-29th 3,4% dan usia diatas 30th sebesar 4%. Tahun 2010, usia 5-9th 1,7%, usia 10-14th 17,5%, usia 15-19th 43,3%, usia 20-24th 14,6%, usia 25-29th 4,3% dan usia diatas 30th sebesar 3,9%. Angka prevelensi merokok di Indonesia juga meningkat signifikan.

Menurut data Kemenkes, tahun 2007 penduduk Indonesia berusia diatas 15th yang merokok setiap hari 27,2%, merokok tidak setiap hari 6,1%, mantan perokok 3,7%, dan yang tidak merokok sebesar 63%. Tahun 2010, yang merokok setiap hari menjadi 28,2%, merokok tidak setiap hari 6,5%, mantan perokok 5,4% dan yang tidak merokok 59,9%. Perokok di Indonesia juga terus meningkat jumlahnya setiap tahun.

Kurun waktu 1970-2000, menurut data Kemenkes, konsumsi rokok Indonesia meningkat dari 33 miliar batang menjadi 217 miliar batang. Tahun 2008, konsumsi rokok Indonesia telah mencapai 240 miliar batang, terus meningkat menjadi 279,4 miliar batang tahun 2011. Hal ini berarti setiap hari jumlah konsumsi rokok di Indonesia berjumlah sekitar 10,95 batang!!

Akibatnya, Indonesia menjadi negara perokok terbesar ke-3 setelah China dan India, serta menjadi salah satu negara yang belum meratifikasi Protokol Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC).

Dilema Industri Rokok
Asap rokok mengandung 4000 macam racun dengan 69 diantaranya bersifat karsinogenik yang menimbulkan kanker. Dampak asap rokok juga merugikan baik bagi perokok pasif maupun aktif. Rokok sering disebut silent killer karena timbul secara perlahan dan lama, tidak langsung serta tidak nampak secara nyata. Kebiasaan merokok juga memacu berbagai penyakit lainnya seperti kanker, kardiovaskuler, gangguan kehamilan dan janin. Rokok juga menimbulkan dampak ekonomi, khususnya bagi golongan menengah miskin. Kaijan sosiologis terkait hal ini banyak diungkapkan oleh para ahli di media.

Dampak Negatif Rokok
Namun di sisi lain, menurut data Kemenkeu, pada tahun 2008 saja industri rokok menyumbang Rp 51,3 triliun dan terus meningkat menjadi Rp 83,3 triliun dalam APBN-P 2012. Pada tahun 2014 cukai menyumbang lebih dari Rp 100 triliun untuk APBN. Industri tembakau juga memberikan kesejahteraan bagi petani tembakau, khususnya di beberapa daerah yang memang terkenal sebagai sentra utama tembakau seperti di Jatim dan beberapa daerah lainnya. Ini adalah fakta dan dilema yang ada terkait industri rokok.

Latar Belakang Pajak Rokok
Terlepas dari polemik manfaat dan mudharat rokok dari berbagai sudut pandang, faktanya kita dipaksa melihat bahwa rokok memiliki dampak negatif jika tidak dikendalikan peredaran dan konsumsinya.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, per tanggal 1 Januari 2014, Pemerintah Daerah khususnya provinsi akan diberi kewenangan memungut pajak rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok nasional.

Regulasi ini hadir sebagai kebijakan yang mengakomodir unsur pengendalian dampak negati frokok namun juga tetap menyerap penerimaan dari industri rokok. Dari hasil simulasi awal pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, potensi pemungutan pajak rokok oleh provinsi tahun 2014 sebesar Rp11,63 triliun. Dengan asumsi jumlah provinsi 33, maka secara rata-rata, tambahan penerimaan masing-masing provinsi mencapai Rp330 miliar.

Ada beberapa latar belakang adanya kebijakan pajak rokok, yaitu :

(1)   Perlunya penerapan pajak yang lebih adil kepada seluruh daerah, agar seluruh daerah mempunyai sumber dana yang memadai untuk mengendalikan dan mengatasi dampak negatif rokok, karena sebelumnya daerah yang mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (yang sebagian dananya dapat digunakan untuk mengendalikan/mengatasi dampak negatif rokok) hanya daerah penghasil rokok dan penghasil tembakau,

(2)   Perlunya peningkatan local taxing power guna meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan,

(3)   Perlunya penerapan piggyback taxes, atau tambahan atas objek pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat terhadap konsumsi barang yg perlu dikendalikan, sesuai dengan best practiceyg berlaku di negara lain, dan

(4)   Perlunya pengendalian dampak negatif rokok, karena terkait dengan meningkatnya tingkat prevalensi perokok di Indonesia (jumlah penduduk perokok terhadap jumlah penduduk nasional), meningkatnya dampak negatif konsumsi rokok bagi masyarakat, dan masih rendahnya komponen pajak dalam harga rokok di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain khususnya negara ASEAN.


Perbedaan Pajak Rokok dan Cukai Rokok
Penerimaan Negara dari Cukai
Secara mudah pajak rokok dapat diartikan sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap konsumsi rokok yang perhitungannya didasarkan pada besaran cukai. Sementara cukai sendiri adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang tertentu yang memiliki karakteristik tertentu (peredaran perlu dikendalikan, peredaran perlu diawasi, konsumsinya memilki dampak negatif)

Jadi objek cukai adalah barang kena cukai (barang tertentu tadi) sementara:

Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok meliputi rokok sigaret, cerutu, dan rokok daun, kecuali rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

Subjek pajak rokok adalah konsumen rokok, dan wajib pajaknya adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.

Tarif pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok, dan dasar pengenaannya cukai yang ditetapkan Pemerintah terhadap rokok.

Pemungut Pajak rokok adalah Kantor Pelayanan Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

Distribusi hasil pemungutan (penerimaan) pajak rokok ditampung sementara dalam rekening kas negara, untuk selanjutnya disetor ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk masing-masing provinsi.

  • Penyetoran ke provinsi dilaksanakan secara triwulanan, yakni pada bulan pertama triwulan berikutnya.
  • Khusus untuk penyetoran triwulan IV hanya mencakup penerimaan pajak rokok bulan Oktober dan Desember, sedangkan penerimaan bulan Desember akan disetor ke provinsi setelah ditetapkannya hasil audit Laporan Arus Kas Pemerintah oleh BPK.
  • Ketentuan mengenai pemungutan dan penyetoran pajak rokok telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok.


Sequence & Timeline
Sesuai ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, pajak rokok dapat dipungut setelah Daerah menerbitkan Perda mengenai Pajak Rokok.  Pada tahun 2013 masih ada 5 provinsi yang belum menetapkan Perda Pajak Rokok, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi DKI Jakarta, dan Provinsi Maluku. Jika tidak ditetapkan Perda, maka tidak dapat dilakukan pemungutan dan penyetoran pajak rokok untuk provinsi yang bersangkutan.

Dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak rokok, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bersama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah melakukan sosialisasi kebijakan pajak rokok kepada pejabat Dispenda provinsi, pengusaha/pengelola pabrik rokok dan importir rokok, dan pejabat dari Kantor Pelayanan Bea dan Cukai.

Peruntukkan Bagi Hasil
Seperti halnya dengan pajak provinsi lainnya, penerimaan pajak rokok juga harus dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, yakni 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota. Penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kab /kota, minimal 50%digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
  • Kegiatan yang terkait pelayanan kesehatan masyarakat antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.
  • Sementara kegiatan yang terkait penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemda yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain, pemberantasan peredaran rokok illegal, dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Contoh Penghitungan Pajak Rokok

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan mendasar antara cukai dan pajak rokok adalah pada objeknya. Apabila objek cukai adalah barang kena cukai, termasuk didalamnya cerutu, sigaret dan rokok. Maka objek pajak rokok adalah besaran cukai atas konsumsi rokok meliputi rokok sigaret, cerutu, dan rokok daun.

Sebagai contoh misalkan sebuah produk rokok merek “Extra” dengan harga jual Eceran (HJE) per batang Rp 600 (sudah termasuk cukai didalamnya). Jika digunakan tarif cukai spesifik 40% perbatang. Berapa besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok per batang rokok?
Jawab:

·         HJE per batang rokok = Rp. 600;

·         Cukai yang dibayar pengusaha per batang = (tarif cukai x HJE) = (40% x Rp 600) =Rp. 240;

·         Jadi dari Rp 600; tersebut terdapat cukai Rp 240;

·        Pajak Rokok yang dibayar pengusaha per batang = (tarif pajak rokok x cukai)
      = (10% x Rp. 240) Rp. 24;
     Kita juga dapat menghitung besaran Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok, yaitu (tarif PPN x HJE)
     = (8,4% x Rp. 600) = Rp. 50,4

Contoh berikutnya:
Dengan menggunakan tarif advalorum, yaitu tarif dikenakan per bungkus bukan per batang. Misalkan harga satu bungkus rokok rokok merek “Extra” sebesar Rp. 10.000;. Tarif cukai 40%. Maka perhitungannya sebagai berikut:

Nilai cukai adalah sebesar (tarif cukai x harga per bungkus) = (40% x Rp 10.000) = Rp. 4.000.

Dari harga Rp 10.000; tersebut negara mendapat Rp 4.000; dari cukai.

Lalu Besaran Pajak Rokok = (tarif pajak rokok x nilai cukai) = (10% x Rp 4.000;) = Rp. 400;

Penegakan Hukum Pajak Rokok

Penegakan hukum terkait pajak rokok sejatinya menginduk pada penegakan hukum terkait cukai. Karena penerimaan pajak rokok dipengaruhi langsung oleh besaran penerimaan cukai. Penegakan hukum terkait pajak rokok dilakukan oleh Pemda/ Pemkot, dimana untuk penanganan lanjutan dapat bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selaku pihak yang mendapat mandat Undang-Undang Cukai.

Sebagai contoh, rokok yang dalam tahap produksinya tidak terdaftar sehingga tidak membayar Cukai rokok, maka otomatis mengurangi jumlah pajak rokok yang dapat dipungut oleh pemerintah. Penegakkan hukum terkait produksi tanpa izin ini merujuk pada Undang-Undang Cukai. Efek dari penegakkan hukum terkait cukai adalah korelasi positif antara penerimaan cukai dan pajak rokok.

Pengawasan khusus terkait domain provinsi penerima pajak rokok, produk rokok akan ditandai dengan stiker atau pita cukai tambahan yang dilekatkan pada masing-masing bungkus rokok. Distributor wajib menyampaikan laporan kepada pemerintah provinsi yang berisi jumlah rokok yang akan dijual.

Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda dengan provinsi lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Tugas ini bisa diserahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Penegakkan hukum terkait pajak rokok juga dapat dilakukan melalui kerjasama antar isntansi terkait, antara lain Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Pemda, Pemkot, TNI POLRI. Dan tentu saja peran serta masyarakat.


0 comments:

Post a Comment

Visitors