![]() |
Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Berbeda. |
Dengan penduduk 250 juta jiwa dan bonus demografi yang
potensial , Indonesia menjadi incaran para produsen rokok. Tingginya kesadaran
bahaya rokok di negara maju memacu produsennya mengalihkan produksi rokok ke
luar negeri, negara berkembang seperti Indonesia. Sementara di sini, rokok
masih hal yang lumrah dan jamak dikonsumsi.
Yang terjadi di Indonesia adalah anak-anak
dan generasi muda dijadikan target utama. Kunci kelanggengan bisnis
rokok. Mereka dapat diubah menjadi perokok pemula, menggantikan perokok lama
yang berhenti merokok atau meninggal karena penyakit akibat rokok. Dan mereka
akan menjadi perokok loyal di masa depan.
Menilik data Kemenkes, tahun 2007-2010 terjadi peningkatan
umur mulai merokok pada usia yang lebih muda. Tahun 2007, umur pertama kali
merokok usia 5-9th 1,2%, usia 10- 14th 10,3%, usia 15-19th 33,1%, usia 20-24th
12,1%, usia 25-29th 3,4% dan usia diatas 30th sebesar 4%. Tahun 2010, usia
5-9th 1,7%, usia 10-14th 17,5%, usia 15-19th 43,3%, usia 20-24th 14,6%, usia
25-29th 4,3% dan usia diatas 30th sebesar 3,9%. Angka prevelensi merokok di
Indonesia juga meningkat signifikan.
Menurut data Kemenkes, tahun 2007 penduduk Indonesia berusia
diatas 15th yang merokok setiap hari 27,2%, merokok tidak setiap hari 6,1%,
mantan perokok 3,7%, dan yang tidak merokok sebesar 63%. Tahun 2010, yang
merokok setiap hari menjadi 28,2%, merokok tidak setiap hari 6,5%, mantan
perokok 5,4% dan yang tidak merokok 59,9%. Perokok di Indonesia juga terus
meningkat jumlahnya setiap tahun.
Kurun waktu 1970-2000, menurut data Kemenkes, konsumsi
rokok Indonesia meningkat dari 33 miliar batang menjadi 217 miliar batang. Tahun
2008, konsumsi rokok Indonesia telah mencapai 240 miliar batang, terus
meningkat menjadi 279,4 miliar batang tahun 2011. Hal ini berarti setiap hari
jumlah konsumsi rokok di Indonesia berjumlah sekitar 10,95 batang!!
Akibatnya, Indonesia menjadi negara perokok terbesar
ke-3 setelah China dan India, serta menjadi salah satu negara yang belum
meratifikasi Protokol Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC).
Dilema Industri Rokok
Asap rokok mengandung 4000 macam racun dengan 69
diantaranya bersifat karsinogenik yang menimbulkan kanker. Dampak asap rokok
juga merugikan baik bagi perokok pasif maupun aktif. Rokok sering disebut
silent killer karena timbul secara perlahan dan lama, tidak langsung serta
tidak nampak secara nyata. Kebiasaan merokok juga memacu berbagai penyakit
lainnya seperti kanker, kardiovaskuler, gangguan kehamilan dan janin. Rokok
juga menimbulkan dampak ekonomi, khususnya bagi golongan menengah miskin.
Kaijan sosiologis terkait hal ini banyak diungkapkan oleh para ahli di media.
Namun di sisi lain, menurut data Kemenkeu, pada tahun
2008 saja industri rokok menyumbang Rp 51,3 triliun dan terus meningkat menjadi
Rp 83,3 triliun dalam APBN-P 2012. Pada tahun 2014 cukai menyumbang lebih dari
Rp 100 triliun untuk APBN. Industri tembakau juga memberikan kesejahteraan bagi
petani tembakau, khususnya di beberapa daerah yang memang terkenal sebagai
sentra utama tembakau seperti di Jatim dan beberapa daerah lainnya. Ini adalah
fakta dan dilema yang ada terkait industri rokok.
Latar Belakang Pajak
Rokok
Terlepas dari polemik manfaat dan mudharat rokok dari
berbagai sudut pandang, faktanya kita dipaksa melihat bahwa rokok memiliki
dampak negatif jika tidak dikendalikan peredaran dan konsumsinya.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, per tanggal 1 Januari 2014,
Pemerintah Daerah khususnya provinsi akan diberi kewenangan memungut pajak
rokok sebesar 10% dari tarif cukai rokok nasional.
Regulasi ini hadir sebagai kebijakan yang
mengakomodir unsur pengendalian dampak negati frokok namun juga tetap menyerap
penerimaan dari industri rokok. Dari hasil simulasi awal pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat, potensi pemungutan pajak rokok oleh provinsi tahun 2014
sebesar Rp11,63 triliun. Dengan asumsi jumlah provinsi 33, maka secara rata-rata,
tambahan penerimaan masing-masing provinsi mencapai Rp330 miliar.
Ada beberapa latar belakang adanya kebijakan pajak rokok, yaitu :
(1) Perlunya penerapan pajak yang lebih adil
kepada seluruh daerah, agar seluruh daerah mempunyai sumber dana yang memadai
untuk mengendalikan dan mengatasi dampak negatif rokok, karena sebelumnya
daerah yang mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (yang sebagian
dananya dapat digunakan untuk mengendalikan/mengatasi dampak negatif rokok)
hanya daerah penghasil rokok dan penghasil tembakau,
(2) Perlunya peningkatan local taxing power
guna meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik,
khususnya pelayanan kesehatan,
(3) Perlunya penerapan piggyback taxes,
atau tambahan atas objek pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat terhadap
konsumsi barang yg perlu dikendalikan, sesuai dengan best practiceyg
berlaku di negara lain, dan
(4) Perlunya pengendalian dampak negatif
rokok, karena terkait dengan meningkatnya tingkat prevalensi perokok di
Indonesia (jumlah penduduk perokok terhadap jumlah penduduk nasional),
meningkatnya dampak negatif konsumsi rokok bagi masyarakat, dan masih rendahnya
komponen pajak dalam harga rokok di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara
lain khususnya negara ASEAN.
Perbedaan Pajak Rokok
dan Cukai Rokok
![]() |
Penerimaan Negara dari Cukai |
Secara mudah pajak rokok dapat diartikan
sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap konsumsi rokok yang
perhitungannya didasarkan pada besaran cukai. Sementara cukai sendiri adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang
tertentu yang memiliki karakteristik tertentu (peredaran perlu dikendalikan,
peredaran perlu diawasi, konsumsinya memilki dampak negatif)
Jadi objek cukai adalah barang kena cukai
(barang tertentu tadi) sementara:
Objek
pajak rokok adalah konsumsi
rokok meliputi rokok sigaret, cerutu, dan rokok daun, kecuali rokok
yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang
cukai.
Subjek
pajak rokok adalah
konsumen rokok, dan wajib pajaknya adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan
importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena
Cukai.
Tarif
pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok, dan dasar pengenaannya
cukai yang ditetapkan Pemerintah terhadap rokok.
Pemungut
Pajak rokok adalah
Kantor Pelayanan Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
Distribusi hasil pemungutan (penerimaan) pajak rokok
ditampung sementara dalam rekening kas negara, untuk selanjutnya disetor ke
Rekening Kas Umum Daerah provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk masing-masing
provinsi.
- Penyetoran ke provinsi dilaksanakan secara triwulanan, yakni pada bulan pertama triwulan berikutnya.
- Khusus untuk penyetoran triwulan IV hanya mencakup penerimaan pajak rokok bulan Oktober dan Desember, sedangkan penerimaan bulan Desember akan disetor ke provinsi setelah ditetapkannya hasil audit Laporan Arus Kas Pemerintah oleh BPK.
- Ketentuan mengenai pemungutan dan penyetoran pajak rokok telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok.
Sequence &
Timeline
Sesuai ketentuan Undang-Undang No. 28
Tahun 2009, pajak rokok dapat dipungut setelah Daerah menerbitkan Perda
mengenai Pajak Rokok. Pada tahun 2013 masih
ada 5 provinsi yang belum menetapkan Perda Pajak Rokok, yaitu Provinsi Sumatera
Utara, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi DKI Jakarta, dan
Provinsi Maluku. Jika tidak ditetapkan Perda, maka tidak dapat dilakukan
pemungutan dan penyetoran pajak rokok untuk provinsi yang bersangkutan.
Dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak
rokok, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bersama dengan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah melakukan
sosialisasi kebijakan pajak rokok kepada pejabat Dispenda provinsi,
pengusaha/pengelola pabrik rokok dan importir rokok, dan pejabat dari Kantor
Pelayanan Bea dan Cukai.
Peruntukkan Bagi Hasil
Seperti halnya dengan pajak provinsi
lainnya, penerimaan pajak rokok juga harus dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota, yakni 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota. Penerimaan pajak rokok, baik bagian
provinsi maupun bagian kab /kota, minimal 50%digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
- Kegiatan yang terkait pelayanan kesehatan masyarakat antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.
- Sementara kegiatan yang terkait penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemda yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain, pemberantasan peredaran rokok illegal, dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Contoh Penghitungan
Pajak Rokok
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan mendasar antara
cukai dan pajak rokok adalah pada objeknya. Apabila objek cukai adalah barang kena cukai, termasuk didalamnya cerutu,
sigaret dan rokok. Maka objek pajak rokok
adalah besaran cukai atas konsumsi rokok meliputi rokok sigaret, cerutu, dan
rokok daun.
Sebagai contoh misalkan sebuah produk rokok merek “Extra” dengan harga jual
Eceran (HJE) per batang Rp 600 (sudah termasuk cukai didalamnya). Jika digunakan
tarif cukai spesifik 40% perbatang. Berapa besaran Cukai Rokok dan Pajak Rokok
per batang rokok?
Jawab:
·
HJE per batang
rokok = Rp. 600;
·
Cukai yang
dibayar pengusaha per batang = (tarif cukai x HJE) = (40% x Rp 600) =Rp. 240;
·
Jadi dari Rp 600;
tersebut terdapat cukai Rp 240;
· Pajak Rokok yang
dibayar pengusaha per batang = (tarif pajak rokok x cukai)
= (10% x Rp. 240) Rp. 24;
Kita juga dapat
menghitung besaran Pajak Pertambahan Nilai untuk Rokok, yaitu (tarif PPN x HJE)
= (8,4% x Rp. 600) = Rp. 50,4
Contoh berikutnya:
Dengan menggunakan tarif advalorum, yaitu
tarif dikenakan per bungkus bukan per batang. Misalkan harga satu bungkus rokok
rokok merek “Extra” sebesar Rp. 10.000;. Tarif cukai 40%. Maka perhitungannya
sebagai berikut:
Nilai cukai adalah sebesar (tarif
cukai x harga per bungkus) = (40% x Rp 10.000) = Rp. 4.000.
Dari harga Rp 10.000; tersebut negara
mendapat Rp 4.000; dari cukai.
Lalu Besaran Pajak Rokok = (tarif
pajak rokok x nilai cukai) = (10% x Rp 4.000;) = Rp. 400;
Penegakan Hukum Pajak
Rokok
Penegakan hukum terkait pajak rokok sejatinya menginduk pada
penegakan hukum terkait cukai. Karena penerimaan pajak rokok dipengaruhi
langsung oleh besaran penerimaan cukai. Penegakan hukum terkait pajak rokok dilakukan oleh Pemda/ Pemkot, dimana untuk penanganan lanjutan dapat bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selaku pihak yang mendapat mandat Undang-Undang Cukai.
Sebagai contoh, rokok yang dalam tahap produksinya tidak
terdaftar sehingga tidak membayar Cukai rokok, maka otomatis mengurangi jumlah
pajak rokok yang dapat dipungut oleh pemerintah. Penegakkan hukum terkait
produksi tanpa izin ini merujuk pada Undang-Undang Cukai. Efek dari penegakkan
hukum terkait cukai adalah korelasi positif antara penerimaan cukai dan pajak
rokok.
Pengawasan khusus terkait domain provinsi penerima pajak
rokok, produk rokok akan ditandai dengan stiker atau pita cukai tambahan yang
dilekatkan pada masing-masing bungkus rokok. Distributor wajib menyampaikan
laporan kepada pemerintah provinsi yang berisi jumlah rokok yang akan dijual.
Rokok yang beredar di satu provinsi akan berbeda dengan
provinsi lainnya, lantaran memiliki stiker atau pita cukai tambahan yang
berlainan. Pengawasan peredaran rokok akan langsung dilakukan oleh pemerintah
daerah, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Tugas ini bisa diserahkan kepada
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dibantu Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
Penegakkan hukum terkait pajak rokok juga dapat dilakukan
melalui kerjasama antar isntansi terkait, antara lain Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, Pemda, Pemkot, TNI POLRI. Dan tentu saja peran serta masyarakat.
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.