Friday 22 April 2016

Mungkin sekarang saatnya kita belajar lebih mendengarkan daripada bicara.
Dari lingkungan sekolah hingga jenjang karir kita telah banyak mendapat pelatihan dan pengayaan perihal public speaking, MC-ing, atau sekedar tips agar didengarkan 80% saja audience di kala presentasi. Namun pernahkah terbersit untuk mengikuti pelatihan "public listening"?
Agaknya yang terakhir tadi memang hanya angan-angan saya saja karena bahasa "public listening" bisa dibilang mengada-ada. Bahkan jika Anda search di google pun tidak akan muncul materi tentabg itu. Malahan hanya sederet tulisan tentang public speaking, ya lagi-lagi speaking. Padahal telinga kita dua, berbanding mulut yang hanya satu.
Dalam benak saya "public listening" adalah semacam cabang seni yang belum banyak expertise turun gunung untuk membuka lokakaryanya. Public listening masih samar-samar saja, semacam tehnik-tehnik ala-ala agen rahasia bersertifikat ninjutsu yang mampu membuka indera dalam senyap mendengarkan apa saja yang bisa didengarkan di antara keramaian.
Tentu bukan hal yang mudah ya? Menjaga telinga tetap terbuka dan mulut tertutup selama mungkin di antara riuh rendah suara yang berisi campur baur data, fakta, opini, berita, yang boleh jadi provokatif, sensitif yingga mengguncang nalar?
Benar-benar suatu hal yang menantang di era hak asasi "freedom of speech" dewasa ini.
Sepertinya..
Jika saya dipercaya menjadi pembicara lokalarya public listening maka saya akan buka acara tersebut dengan mengheningkan cipta mengenang jasa para pahlawan dan para pendahulu kita.
Mengheningkan cipta, mulai. Itu saja, sampai acara bubar. Hehe..

0 comments:

Post a Comment

Visitors