Thursday 30 April 2015









Teman saya berkisah mengenai CEO nya. Sebagai seorang manajer, teman saya banyak belajar dari pimpinannya itu. Bahwa gaya kepemimpinan memang suatu seni yang luas. Dan marah-marah adalah salah satu cabang seni di dalamnya.


Diceritakan oleh teman saya, CEO perusahaannya itu biasa bersikap santai dan humoris dalam bekerja sehari-hari. Tapi dalam rapat ia bisa sangat berbeda. Sekali waktu sang CEO tiba-tiba bangkit dari kursi empuknya, membentak seisi ruangan, menggedor meja atau bahkan menyiram kopi ke arah salah satu anak buahnya. Marah-marah bagai orang kesetanan. Tidak akan ada yang berani melawan.


Dalam kesempatan lain CEO menelpon tengah malam menanyakan persiapan pengiriman ekspor barang untuk esok pagi. Yang skejul persiapannya seharusnya memang besok pagi. Tapi malam itu juga CEO memerintahkan semua sudah harus siap. Pernah sedikit argumen dikeluarkan teman saya terkait jadwal pelayanan depo kontainer, agensi kapal atau waktu yang sudah kelewat larut, namun bukan apa yand didapat melainkan semprotan maut dan umpatan sumpah serapah. Bonus: full monitoring dari Sang CEO memastikan bahwa tugas teman saya harus selesai sebelum fajar.


Sang CEO tidak bercanda malam itu. Bahkan untuk ke kamar kecil teman saya wajib menyalakan dan membawa HP, tidak boleh offline, dan selalu bisa dimonitor kapanpun dimanapun. Hingga keluar kata-kata:"Silahkan kamu pup, kamu ML, HP kamu bawa! Aktif! Dan besok tugasmu selesai!!" Sekilas sangat otoriter dan kasar. Namun hal biasa bagi teman saya, yang dunianya sangat butuh kecepatan dan akurasi.


Menurut teman saya, itu adalah seni marah. Mental shock untuk mengguncang jiwa bawahannya. Saat terguncang dan blank, bawahan kemudian dicekoki dengan instruksi-instruksi dan arahan oleh pimpinan. Marah juga digunakan CEO teman saya sebagai seni mengumpulkan fokus dan perhatian team kerja di bawah kendalinya, terlepas dari rasa tegang yang muncul memicu terlalu banyak adrenalin atau tidak.


Yang berbeda dari CEO teman saya itu dengan pemimpin publik saat ini adalah:


-Marah a la CEO tidak dilakukan di ruang publik, di hadapan banyak orang tapi dalam ruang rapat atau empat mata. Menghindari efek "mempermalukan bawahan" di depan bawahannya, yang justru kontraproduktif.


-Marah a la CEO kemudian disertai instruksi dan arahan strategis yang sudah dipikirkan sebelumnya melalui analisis dan profesional judgement. Bukan marah-marah eksplosif reaktif yang buru-buru dan baru ada analisis belakangan.

1 comments:

Visitors